Polutan Afeksi: Doa-doa Singkat di Kereta Api

13.23.00

Peluit kedua telah tederngar dari kejauhan, dan artinya sebentar lagi kereta yang akan aku naiki akan segera berangkat meninggalkan Bandung. Tidak banyak barang-barang yang kubawa dalam perjalanan kali ini, tas daypack yang berisikan makanan kecil untuk perjalanan, seperangkat alat mandi, baju-celana sehari-hari dan satu tas selempang kecil untuk menaruh dompet, peta, dan telepon genggam.
Langit kian menguning, sisa sejengkal matahari diufuk barat menyisa, diujung gerbong aku duduk sambil menyeka-nyeka kaca jendela yang berembun. Udara digerbongku dingin sekali, dan aku baru ingat belum sempat makan dari pagi tadi, malas sekali untuk beranjak dari tempat duduk dan memesan makanan digerbong sebelah, akhirnya akupun terlelap.

Aku terbangun dan terkejut tepat disampingku seorang bapak tua yang berseragam lengkap tengah berdiri tegap yang ternyata sudah berkali-bakli menepuk pundakku sampai terbangun. Fuh...tanpa sadar ternyata petugas kereta api yang hanya ingin mengecek tiket keberangkatan. Sudah lima jam perjalanan, tersisa tiga jam lagi harusku habiskan didalam kereta ini, akhirnya aku putuskan untuk berjalan ke gerbong sebelah; kantin kereta api berada. Tak ada yang dapat mengalahkan rasa malas dan laparku kini, kecuali seorang gadis yang tengah asik menghisap sebatang rokok disela jemarinya. Aku duduk tepat disebelahnya, kursi tinggi dimeja kantin kereta api. Wajahnya ramah, dan matanya masih memerah, mungkin dia juga baru bangun sepertiku. Memang dasarnya aku pemalu, padahal ingin sekali mengajakanya untuk berbincang-bincang sedikit, tapi apa mau dikata memang aku ini pemalu.

Sebenarnya perjalanan ini membuat aku sedikit lelah, apalagi setelah terbangun karena bapak petugas yang membuat aku terkejut dan memotong mimpi manisku tadi membuat pening kepala ini. Sampai akhirnya tak sengaja aku menumpahkan kuah makanan yang kupesan dari sendok yang sedang kutiup terlalu kencang, tepat sekali kuah mie itu tumpah ditangannya, tangan gadis yang berwajah ramah itu. Iapun mentapku kaget bercampur kesal, dengan langkah cepat kuambil sapu tang yang berada disaku belakang celanaku, mengelapnya dengan cepat dan meminta maaf berkali-kali entah berapa kali. Gadis itu malah tersenyum kecil dan menarik sapu tangaku mengelap tangannya sendiri.

Gadis berwajah ramah, dengan sebatang rokok disela jemarinya, senyum kecil dan tatapannya.

Setelah jauh roda kereta menggilas besi tua sebagai pijaknya, tak terasa aku sudah jauh pula bertukar cerita dengannya tentang arah dan tujuan. Kita memilih untuk mengakhiri perbincangan tersebut, dan memilih untuk kembali ketempat duduk masing-masing. Dari awal keberangkatan aku tidak memperhatikan ternyata ia duduk tiga bangku tepat didepanku. Mie dan es teh manis sudah membiusku untuk kembali terlelap, lagi.

Kembali aku terbangun, kali ini dering telfon yang menganggu, suaraku yang parau karna terlalu lama tertidur dengan sigap menjawab panggilan telfon dari Ibu di Jakarta, hanya sekedar menanyakan kabar dan keberadaan. Bukannya kembali tertidur, aku malah semakin penasaran dengan gadis berambut hitam pekat sebahu itu. namanya Talita seingatku, dan tujuan kita sama, Surabaya. Sekitar dua puluh menit, perkiraanku akan tiba di stasiun Gubeng. Dengan perlahan kubereskan sisa-sisa makanan, jaket, dan perlengkapanku. Sebentar saja kutinggal kursiku, dan kutemukan gadis itu, Talita sedang asik duduk tepat disebelah kursiku. "Mau lanjut kemana setelah ini ?" Ia bertanya sambil menatapku yang sambil menelan ludah berkali-kali berusaha agar tidak kelihatan gugup, "Masih sangat pagi, mungkin ke mushola stasiun dulu nunggu shubuh, kamu sendiri mau kemana ?" Jawabku, "Oke, aku bareng ya sekalian nunggu dijemput" jawabnya kembali dengan suara ramah sambil membetulkan pasmina yang melilit di lehernya. Oh, apakah ini sebuah pertanda, ada seorang yang asing di suatu kali pertemuan dan kita akan melanjutkannya kepada suatu hubungan yang lebih serius ? pikirku yang suka sekali nonton film dan baca buku tentang percintaan.

Kereta berhenti, bersamaan kita turun dari kereta dan berjalan perlahan mencari mushola berada. Adzhan Shubuh berkumandang...doa-doa pun kulantunkan dalam dada, dengan tangan yang mengadah kuucapkan syukur karna telah melewatkan hari yang begitu indah, tanpa banyak keluh kesah.
Setelah ibadah shubuh, dan doa-doa setelahnya kita kembali sedikit berbincang-bincang di kedai kopi. Untuk sementara kopi pahit yang kupesan ini menjadi begitu terasa manis, semoga ia juga.

Matahari sudah ingin bangun dari tidur lelapnya, kilau matahari dan matanya waktu pagi aku tak tahu bedanya.

"Selamat tinggal, sampai jumpa lagi" itulah kata yang kuingat sebelum perpisahan itu, ingatan-ingatan manis dengan pertemuan singkat dan tak begitu rumit. Semoga kita dapat berjumpa lagi, di kotaku atau kotamu. Pasti kopi pahitku akan terasa manis.


Jatinangor,  270414


You Might Also Like

0 komentar

Facebook

Twitter