Kita Sepakat Tidak Akan Lagi Banyak Memberi Gula ditiap Cangkir Kopi yang Kita Pesan

09.24.00


Pada malam-malam dimana kta selalu merayakan kesepian. Pada malam dimana kita telah berbahagia tanpa mengenal kata mengapa. Selalu aku menahan segala kata di ujung lidah, sampai asam dan akhirnya kumembakar rokok hingga habis sampai belasan. Sampai aku tak tahan dengan segala alasan yang berbisik, tepatnya mengumpat bahwa aku adalah seorang yang begitu jahat. Cinta begitu sederhana dalam bait puisi seorang penyair yang begitu ternama, tidak menurutku. Terlebih lagi bila engkau sedang atau baru ingin mengenalnya, cinta. Syair cinta selalu membelenggu erat di tiap sendi dan nadiku. Tiap hari aku dapat menjadi pujangga yang begitu gemar menulis, membaca, dan mendengarkan karya-karya kesusasteraan meski sendirian.

Andai berbicara padamu begitu mudah seperti menaruh sepatu di sebuah rak. Aku tak akan sampai berkali-kali menelan ludah untuk menyingkirkan pengganggu di lidah dan tenggorokan. Kita selalu menatap, bibir kerap bergetar menahan segala ucap. Dindingpun bergetar kalau sampai begitu larut kita saling bersandar. Sudah sampai kita sejauh ini, berbagai entah yang selalu membuat kita resah pada akhirnya.

Aku sebetulnya begitu iri pada benda-benda mati yang ada didekatmu. Kurasa sungguh bahagia mereka, tak adil bagiku kalau begitu. Kupikir bantal, guling, selimut, sampai jaket yang selalu ada didekapmu pasti sama sepertiku, menahan senyum selalu karna cerobohnya dirimu. Tapi kini aku sedikit merasa lega, setelah kita sepakat untuk tidak lagi banyak memberi gula ditiap cangkir kopi yang kita pesan.

“aku sedang mabuk kopi, ini gelas yang ketiga. Sembari langit menumpahkan hujan sesekali, aku menghembuskan asap dan menghayalmu sesekali.”


You Might Also Like

0 komentar

Facebook

Twitter